Senin, 01 Juni 2015

Konsep tuhan, alam dan manusia dalam agama Hindu & Buddha


Oleh: Ahmad Syafiq
 
Pendahuluan
Dalam setiap konsep tentang Tuhan, alam dan manusia, di setiap agama selalu berbeda-beda, dari konsep yang menggunakan filsafatnya, sampai bersandar kepada Tuhan tentang segala sesuatu penciptaan alam, ataupun ada juga yang beranggapan semua yang terjadi pada alam semesta ini adalah dari hukum sebab akibat.[1] Setiap argumen dan teori itu telah menjadi keyakinan pemeluk agama masing-masing, itu semua karena setiap agama telah memberikan pengetahuan tentang penciptaan alam semesta ini, di dalam kitab-kitab yang menjadi penuntun manusia. Adapun tetang konsep ketuhanan, hingga sampai filsafat penciptaan, dalam setiap agamapun berbeda-beda, dari yang menerangkan gejala alam yang mempengaruhi sifat Manusia, sampai tentang proses alam ini terjadi dari partikel-partikel yang berkesinambungan dan bermuara pada Tuhan. Dari ajaran-ajaran semuaitu tidak lain adalah untuk menuntun manusia untuk terlepas dari penderitaan, berfikir secara teratur, dan mencapai pengetahuan yang luas hingga mencapai kebahagiaan yang tertinggi.
Konsep Tuhan, Alam dan Manusia dalam Hinddu
Konsep Tuhan
Tuhan dalam agama Hindu disebut Brhman, Brhman adalah Tuhan yang Mahakuasa, pencipta alam dan manusia, meskipun ada ajaran hindu beranggapan manusia adalah bagian dari Tuhan, tetapi sesungguhnya Brahmanlah yang telah menghidupkan manusia lewat proses yang panjang, hingga lahirlah manusia yang pada hakekatnya hidup dari kasih tuhan yang telah memberikan kehidupan dari bagianNya yang pada saatnya manusia itu akan kembali kepada sang Brahman setelah melalui cobaan kehidupan di dunia. Dalam kepercayaan umat Hindu, tuhan Brhman sangat ditaati layaknya agama-agama yang lainnya, Brahman digambarkan dalam kitab agama Hindu sebagai sesuatu yang tak terbatas, yang tak terlahir dan tak berakhir, orang Hindu sangat menyakini keberadaanNya karena lahirnya alam ini dari sesuatu yang ada, hal itu tertera dalam filsafatnya tentang proses penciptaan alam, dimana semuanya berawal dari Tuhan.
Dari perkembangan sejarah agama Hindu, konsep tentang ketuhanan umat Hindu dari pokok-pokok ajarannya bisa dijelaskan sebagai berikut.[2]Konsep Tuhan mengikuti kitab-kitab Hindu: hanya boleh dipahami dengan menganalisis kitab-kitab agama Hindu. Bhagavad Gita kitab yang paling populer daripada semua kitab-kitab Hindu adalah Bhagavad Gita.
“Mereka yang akalanya di pengaruhi oleh nafsu dunia menyerahkan diri mereka kepada Dewa palsu dan ikut kaedah-kaedah tertentu dan peraturan ibadat mengikuti sifat mereka sendiri. (Bhagavad Gita 7:20).[3]
Bhagavad Gita menyatakan bahwa hanya orang-orang yang mengikuti nafsu hati mereka akan menymbah Dewa palsu yaitu ‘Tuhan-tuhan’ selain Tuhan yang Esa. Berikut ayat ayat Upanishad merujuk kepada Konsep Tuhan:
“Ekam evadvitiyam” “Dia hanyalah satu tanpa yang kedua.” (Chadogya Upanishad 06:02:01).
“Na casya kascij janita chadipah na.” “Dia tidak ada ibu bapa atau tuan.” (Svestavara Upanishad 6:09).
“Na Tasya pratima Asti” “Tidak ada yang sama dengannya.” (Svestavara Upanishad 4:19).
Ayat-ayat berikut dari Upanishad melarang manusia daripada membayangkan Tuhan dalam rupa bentuk yang tertentu:
“Na samdrse tisthati rupam asya, na caksua pasyati Kas cananinam.” “Rupanya tidak untuk dilihat; tiada siapa yang pernah melihat Tuhan dengan matanya.” (Svestavara Upanishad 4:20).[4]
Agama Hindu Wedha (Hindu lama sebelum timbulnya Buddhisme mempunyai konsepsi ketuhanan yang bersifat polytheistis dimanifestasikan dalam jumlah dewa-dewa yang disebutkan dalam kitab-kitab Wedha  sebanyak 32 dewa. Jumlah 32 dewa tersebut mempunyai fungsi masing-masing dalam hubungannya dengan kehidupan manusia. Dewa-dewa tersebut dipandang sebagai tokoh simbolis dari satu dewa pokok yaitu Barhman. Nama-nama  Dewa yang disebutkan dalam kitab suci Wedha antara sebagai berikut:[5]
1.        Dyaus pitar sebagai dewa matahari, sama dengan dewa atau Surya dalam agama Hindu lama. Nama dewa Dyaus pitar beasala dari dewa Yunani kuno bernama Zeus yang dibawa oleh bangsa Arya (Indo German) ke dalam Hinduisme ini.
2.      Vairuna sebagai dewa air, yang menurut Hindu lama disebut Varuna sebagai dewa laut.
3.      Indra sebagai dewa perang, yaitu dewa pelindung bangsa dalam peperangan-peperangan melawan suku-suku bangsa Kemudian dewa Indra ini dianggap sebagai dewa hujan yang dapat mengalahkan naga Werta yang mengisap air hujan laingit tinggi.
4.      Yama sebagai dewa maut, yang mengingatkan kita kepada nama dewa Yamadipati dalam cerita-cerita wayang Jawa.
5.      Rudra sebagai dewa badai topan atau dewa yang mengejutkan yang terkenal dengan suaranya yang menggeledek.
6.      Vayu sebagai dewa angin, yang sering disebut juga dewa Bayu.
7.      Soma sebagai dewa air soma (minuman yang digunakan dalam upacara kurban soma yang memabukkan) yang kemudian dipandang sebagai dewa bulan.
8.      Agni sebagai dewa api, yang dipandang sangat penting pada zaman Wedha ini. Dalam upacara-upacara, orang banyak menyebut nama dewa ini karena dewa ini dianggap sebagai pengantar dewa-dewa dalam mengabulkan doa dan mantra-mantra.
9.      Perjaniya sebagai dewa awan yang menimbukan hujan dan petir yang mengkilat.
10.   Asvin adalah pasangan dewa yang pada zaman Wedha ini belum mempunyai fungsi.
11.  Brhama disebut sebagai dewa yang menciptakan alam, oleh krenaitu dia disebut sebagai dewa yang mempunyai kedudukan paling tinggi dibanding dewa yang lainnya.
12.  Wisnu adalah dewa yang sebelumnya belum mempunyai fungsi, tetapi kemudian setelah terciptanya alam ini dia bertugas untuk memelihara alam ini.
Dari banyaknya dewa diatas yang sering dipuji adalah dewa Indra, dan dewa agni (api) dan itu tertera dalam Reg Wedha yang berbunyi : “saya menghormati Agni, dewa pembawa sajian, pendeta dan penyanyi yang memberi hadiah harta benda kepada kita, yang dimuliakan oleh para Reshi baik sekarang maupun dahulu. Mudah-mudahan Agni mengantarkan dewa kepada kita” [6]
Satdarsana adalah suatu fiilsafat didalam agama Hindu tetapi pada prosesnya satdarsana bukan seperti filsafat pada umumnya, karena dalam ajaran hindu sesuatu yang bermuara pada pikiran kemudian menjadi rasional itu dianggap lemah, satdarsana sendiri tertera pada kitab weda, didalamnya diajarkan enam unsur dogmatika, dari pemahaman yang saya baca bahwa satdarsana adalah suatu jalan ilmu bagi manusia untuk mencapai kelepasan, dimana jalan kelepasan itu dengan ilmu pengetahuan.
Inilah unsur-unsur dogmatika dalam satdarsana
1.      Nyaya atau teori tentang seni bantah
2.      Waisisheka atau susunan keistimewaan yang dibedakan
3.       Mimansa, penyelidikan, yaitu theologia, dibagi atas dua bagian, yaitu;
a.       Purwa-mimansa atau Theologia upacara
4.      b. Uttara-Mimansa atau disebut juga Wedanta, penetapan dogmatis dari paham upanishad.
5.      Sankhya yaitu suatu susunan yang bentuk bilangan.
6.      Yoga atau pelatihan-pelatihan dalam pemusatan cipta.[7]  
Brahman sebagai Tuhan Yang Maha Esa
Dewa-dewa
Filsafat Samkhya
 Nyaya Waisisheka      Mimansa         Purwa-mimansa          Sankhya           Yoga
                                                            Uttara-Mimansa         
Konsep alam
Dalam ajaran Hindu, alam ini adalah ciptaan dewa Brhman, diciptakannya alam ini yaitu secara berkelanjutan atau berkali-kali: setelah mengalami kehancuran berkali-kali akibat kekuatan  penghancuran dari Siwa Mahakala. Dalam tiap-tiap penciptaan terdapat zaman-zaman yang mengandung 4 tingkatan (periode) sebagai berikut:
a.       Kreta yoga, adalah suatu zaman dimana adanya kebahagian yang abadi.
b.      Dvapara yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.
c.       Treta yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajanya dosa-dosa.
d.      Kali yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa umat mausia.[8]
Adapun penjelasan yang lain tentang alam dalam agama Hindu, disini ada syair tentang penciptaan alam yang tertera dalam kitab hindu yaitu sebagai berikut;
Mama yonir mahad Brahman
Tasmin garbhan dadhamy aham
Sambawah sarvabhutanam
Tato bhavati bharta
Kandungan Ku adalah Brahmayoni yang Esa.
Didalamnya Aku letakkan benih
Dan dari sanalah terlahir
Semua makhlukwahai Brata.
Bait diatas menerangkan bahwa Tuhan (Brahman), digambarkan sebagai manusia yang mengandung. Dan yang dikandung adalah Brahmayon  yang Esa, tidak lain adalah alam semesta ini. Brahmayoni ini di dalam filsafat Samkhya disebut juga Prakerti. Isi kandungan Brahman ini diisi benih kehidupan sehingga alam semesta (prakerti) ini menjadi tempat terlahirnya semua makhluk termasuk manusia sendiri. Di dalam Bhrihadaranyaka Upanishad digambarkan hanya seperempat bagian dari badannya Brahman yang berkrida, jadi kalau dihubungkan dengan ulasan Bhagawadgita maka seperempat bagian dari tubuhnya Brahman inilah kandungan brahman itu. Jika mata memandang kelangit diwaktu malam hari, disitu kita melihat banyaknya planet-planet yang tak dapat terhitung, dan apa yang kita lihat, itu baru ditataran Bhima sakti, sedangkan yang jauh dan tak terjangkau oleh mata manusia itu masih banyak, dan belum terfikirkan oleh manusia, inilah rahasia Tuhan Yang Maha Esa.[9]
Pada abad ketuju lahirlah seorang hindu yang mempunyai pemkiran filsafat, yang kemudian filsafat itu disebut dengan filsafat samkhya, filosof itu bernama Maharesi Kapila, beliau terkenal dengan teori evolusi di India. Phitagoras yang hidup pada abad VI sebelum masehi, diperkirakan mendapat pengaruh dari ajaran Samkhya. Pokok-pokok yang menonjol dari theori Kapila adalah:
1.      “sesuatu yang ada itu tidak mungkin lahir dari seusuatu yang tidak ada” dengan uraian diatas ini menerangkan bahwa Brahman memang adanya hanyasaja Dia tidak terjangkau oleh manusia.
2.      Theori sebab akibat yang dikenal dengan hukum karmapala. Ini menerangkan bahwa adanya suatu perkembangan ini sebebkan adanya sebab akibat yang selelu berkesinambungan.
3.      Kehancuran berarti pengambilan kedalam bentuk asal (semula).
4.      Bahwa hukum alam ini uniform dan tertib teratur. Dijelaskan dalam kitab Upanishad bahwa hukum alam semesta ini disebut Rta.
5.      Terciptanya suatu cosmos ini adalah sebagai hasil dari evolusi prakerti. Evolusi mulai apabila kesimbangan benda-benda, (materi) terganggu, kepadatannya menjadi tidak seimbang dengan bagian-bagian lain dari prakerti itu. Proses mencari keseimbangan yang terus menerus menyebabkan terjadinya evolusi.[10]   
Brhaman
Kereta yoga                             Brhamayoni/ Prakerti
Dvapara yoga
Treta yoga
Kali yoga
Konsep manusia
Makna dari manusia di tinjau darikata bahwasannya, manusia itu ialah berasal dari kata manushya yang berarti mahluk yang memiliki pikiran. Dengan adanya pikiran inilah yang membedakan atara manusia dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bila tumbuh-tumbuhan hanya mempeunyai satu kemampuan yaitu kekampuan untuk tumbuh dan bergerak (bayu), maka binatang mempunyai kemampuan yang lebih dari tumbuh-tumbuhan yaitu kemampuan bergerak dan berbicara (bayu dan sabda). Adapun manusia adalah mahluk yang paling sempurna dari ciptaan Tuhan karena manusia memiliki kemampuan bergerak, berbicara dan berpikir (bayu, sabda dan hidep). Manusia memiliki kesempurnaan peralatan untuk mengantarkan dirinya menemui penciptaan yaitu Tuhan. Dengan memiliki pikiran manusia bisa merobah nasibnya dan memperbaiki dirinya seperti apa yang disebutkan dalam sarasamuchaya sebagai berikut;
Manusah sarwa bhutesu warttate wai cubhacubhe
Acubhesu samawistam chubeswewa wakarayet
Dari demikian banyaknya semua mahluk hidup yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik dan buruk, kemampuan melebur perbuatan buruk kedalam perbuatan baik demikianlah pahalanya menjadi manusia.[11]
Bila ditinjau dari sejarah, manusia adalah hasil evolusi alam yang terakhir, dari mahluk hidup yang paling sederhana yang berwujud protoplasma, meningkatkan diri menjadi tumbuh-tumbuhan, kemudian binatang dan akhirnya manjadi manusia. Maharesi kapila dengan theori evolusinya menjelaskan asal-usul alam semesta ini 2500 tahun sebelum Darwin lahir. Didalam satu segi memang ada kemiripan antara pandangan Kapila dengan Darwin yaitu sama-sama mengakui hukum dialektik, theori tantangan dan jawaban, aksi reaksi, tetapi disegi yang lain menyangkut mengenai asal-usul manusia pendapat Kapila dengan Darwin sangat berbeda.
Menururt Kapila bukan saja kera tetapi semua binatang dalam tingkatan yang tertinggi akan bisa ber incarnasi lahir menjadi manusia. Sang Budha sendiri sebagai seorang suci membantu orang menderita, setia dan bakri, serta tidak mementingkan diri sendiri. Bila guna rajah yang menguasai pikiran, orang itu akan mempunyai pribadi yang keras, kasar, cepat, tersinggung, suka mengaung-agungkan diri sendiri, kurang belas kasihan pemarah, angkuh, egois, loba, bengis, kata-katanya menyakitkan hati. Bila guna tamas yang menguasai pikiran orang itu akan menjadi pribadi pemalas, pengotor, suka makan, suka tidur, dungu, besar birahinya, iri hati.
Dari uraian diatas jelas bahwa sattwa mempunyai sifat tenang, rajas mempunyai sifat dinamis dan tamas mempunyai sifat malas. Ketiga gunainilah[12] yang mempengaruhi manusia mempunyai keinginan, dan dari keinginan inilah maka timbul gerak. Bagi orang yang tidak mempunyai tuga unsur ini, dia bagaikan batu, tidak mempunyai aktifitas. Dalam Tattwa Jnana 10 disebutkan. Bila sattwa bertemu dengan rajah terang bercahaya pikirannya, itulah yang mengantarkan atma sampai ke sorga. Sifat sattwa ingin berbuat baik dan sifat rajah giat bekerja melaksanakan kehendak sattwa. Bila sifat sattwa rajah dan tamah seimbang menguaisai pikiran, maka atma itu akan lahir menjadi manusia. Semua karya manusia adalah realisasi kerja ketiga guna tersebut. Sifat tamas (malas) harus dibangunkan oleh rajas, karena hanya rajas yang bisa memaksakan tamas. Setelah rajas menguasai tamas barulah sattwa mendudukan dan menguasai rajas.[13]
Dalam Ramayana Wibisana sebagai simbol sattwa, Rahwana sebagai simbol rajas dan Kumbakarna sebagai simbol sattwa, Rahwana sebagai simbol rajas dan kumbakarna sebagai simbol tamas. Kumbakarna yang suka tidur dan makan saja baru mau berperang, setelah dicaci dan dihina lebih dahulu oleh Rahwana. Ini merupakan simbol bahwa Tamas harus ditundukan oleh Rajas.[14] 
Evolusi alam/ Protoplasma                  tumbuh-tumbuhan                   Binatang         
                                 Manusia                 Rajah
                                                               Tamah
                                                               Sattwa                                    
Konsep Tuhan, Alam, dan Manusia dalam agama Buddha
Konsep Tuhan 
Konsep tuhan dalam agama Buddha sebenarnya tidak terlalu ditekankan bahwasannya ada suatu tuhan yang selalu di sembah layaknya dalam agama-agama lainnya, ketika sang Buddha (Sidartagautama) ditanyakan tentang ketuhanan beliau diam, karena dalam ajaran Buddha bukan itu yang ditekankan, tetapi bagaimana manusia bisa lepas dari penderitaan (dukkha).[15] Setelah sang Buddha meninggal ajaran tentang ketuhanan tidak juga mengalami perubahan, yang selalu ditekankan adalah bagaimana manusia terlepas dari dukkha dan tidak tumimba lahir, tetapi seiring berkembangnya zaman, agama buddha mengalami perkembangan diantaranya yaitu lahir dua sekte dalam agama buddha yaitu Staviravada dan Mahasanghika kedua sekte ini memiliki perbedaann tentang konsep ketuhanan, staviravada yang ortodoks menekankan bahwa tingkat-tingkat kebudhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjalankan ajaran Sang Buddha, sedangkan Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebudhaan telah ada pada setiap makhluk dan hanya menunggu diwujudkan dan dikembangkan .      
Permasalahan diatas berkembang menjadi persoalan bagaiamana kedudukan sang buddha Ghautama dimata sang Buddha, padaawalnya Buddha gautama dipandang sebagai manusia yang telah mencapai kebuddhaan, kemudian berkembang menjadi prinsip universal yang mewujudkan diri berupa makhluk- makhluk luhur yang menempati alam sorga. Makhluk luhur yang disebut Dhyani Buddha ini dikelilingi para Boddhisatva yang tidak terhitungjumlahnya dan mirip dengan dewa dalam agama Hindu. [16]
Dalam penjelasan yang lain, bahwa Tuhan yang Maha Esa dalam ajaran Buddha Gotama atau Buddha Shakyamuni dijelaksan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, dan merupakan suatu yang mutlak. Penjelasan ini tertera dalam kitab suci UdanaVIII: 3, sebagai berikut:
“ketahuilah para Bhikku bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikku, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, dari penjelmaan, pembentukan, pemunculan, dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikku, karena tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”[17]   
Di dalam Hukum kesunyataan tentang Tri-Laksana (Skt)/Tilakhana (Pali) dijelaskan antara lain bahwa semua yang dilahirkan, yang tercipta, dan yang menjelma adalah tidak kekal dan dicengkeram oleh dukkha. Jika sesuatu Yang Tidak Tercipta, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, dan Yang Mutlak, itulah yang disebut Tuhan Yang Maha Esa, yang kekal dan abadi. Didalam kitab suci Saddharma Pundharika terdapat Sutra perihal ‘makna-makna yang tidak terhingga, dimana Hyang Buddha antara lain membabarkan bahwa makna-makna yang tidak terhingga bersumber dari Hukum Tunggal’.
Dengan sabdaNya di dalam Sutra tersebut, Hyang Buddha ingin mengungkapkan bahwa segala kejadian dan segala-galanya di dalam alam semesta bersumber dari Yang Maha Esa dan Hyang Buddha menyebutnya sebagai hukum Tunggal’.[18]
Menurut mazhab Theravada, apa yang disebut sebagai Tuhan tidak harus dipandang sebagai satu pribadi yang kepadanya umat Buddha memanjatkan puja dan menggantungkan hidup mereka. Suatu pribadi (being), menurut Theravada, adalah terbatas dan akan selalu menjadi (dumadi, becoming). Karena itu tidak mungkin ada wujud (being) yang berpribadi (personal) yang kekal. Namun tuhan juga tidak dipandang sebagai “bukan pribadi” karena Tuhan mengatasi hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non being, antara pribadi dan bukan pribadi. Penggambaran Tuhan menururt ukuran dan perasaan manusia selalu dihindari, karena dianggap dapat menurunkan dan membatasi kedudukan Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan selalu diungkapkan dalam aspek-aspek nafi, seperti tidak dilahirkan, karena dianggap dapat menurunkan dan membatasi kedudukan Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan slelalu disebutkan dalam aspek-aspek nafi, seperti tidak dilahirkan, tidak menderita, tidak menjelma, tidak tercipta dan sebagainya.
Aliran teravadha mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai hubungan dengan sebab akibat dengan alam semesta ini, karena jika Tuhan ada hubungannya dengan sebab akibat yang terjadi dengan alam ini, maka tuhan itu relatif, ini sangat kontra dengan ajaran buddha tentang Tuhan. Dalam bentuk kehidupan yang dahulu dan yang akan datang, adanya sesuatu yang baik dan yang buruk yang terjadi alam ini, Tuhan tidak ada hubungannya sama sekali, tetapi dalam keagamaan Tuhan selalu mempunyai hubungan, dimana manusia selalu berusaha menjadi mahluk yang mencampai Nibbana, disitulah tuhan tempat tuhan yaitu meleburnya rohmanusia kembali kepada sangpencipta.[19]
Mausia                                                 aliran Buddha                                     Staviravada
Dhayani Buddha                                                                                 Mahasanghika
Buddha           Nibbana           Tuhan             
Konsep tentang Alam
Dalam agama Buddha alam dinamakan sankhata  darma yaitu sesuatu yang ada, yang mutlak, selalu berubah-ubah dan tidak abadi, karena alam terbentuk dari sesuatu yang tidak abadi dan pada saatnya alam ini akan hancur. Alam timbul sesuatu yang terdahulunya ada selalu berubah secara teratur oleh karena itu alam disebut sankhara yang bersifat tidak kekal (atta atau anitya), selalu dalam perubahan (dukkha), tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.
Dalam agama Buddha alam terbagi menjadi beberapa golongan yang pertama adalah Shankharloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak seperti benda-benda mati, batu, emas, logam, dan smeua sumber alamiah yang dibutuhkan oleh manusia. Termasuk dalam pengertian ini adalah alam hayat yang tidak mempunyai kehendak dan ciptaan pikiran seperti ide, opini, konsepsi, peradaban, kebudayaan, dan sebagainya.
Sattaloka adalah alam bagi makhluk-makhluk yang mempunyai kehendak, alamini terdiri dari makhluk makhluk yang derajatnya rendah sampai yang tinggi, seperti Syetan, Jin, Manusia, Dewa, dan Brahma. Makhluk- makhluk itu dibesarkan bukan berdasarkan jasmaninya, melainkan tumbuh dari sikap batin, atau sesuatu yang dialaminya seperti suka duka yang akhirnya menimbulkan akibatnya.[20]
Kosmologi buddha berkembang dengan hubungan yang erat dengan pendapat-pendapat tentang susunan dan perkembangan alam semesta, yang telah lama berlaku di India sebelum zaman Buddha. Demikianlah pula orang-orang Buddhis berkata tentang Kalpa-kalpa, ialah masa-masa yang sangat panjang, yang meliputi waktu antara terjadinya dan musnahnya suatu tatadunia. Setelah hancurnya suatu dunia kemudian barulah lahir dunia yang baru. Di dalam suatu masa dunia ada perkembangan kebudayaan yang naik turun, dan setiap kali ada kemunduran datanglah orang Buddha yang menawarkan kembali jalan kelepasan kepada umat manusia. Jadi dipandang dari sudut manapun tidak ada juga perkembangan ke arah tujuan yang tertentu.
Dalam pejelasannya orang Buddha menguraikan tentang kosmologi tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, yaitu alam ini terdiri dari bulan, matahari, dan planet-planet hingga bergerak berputar pada porosnya secara teratur, begitulah yang dilukiskan orang tentang suatu jagatraya alam semesta yang tak terbatas jauhnya didalam ruang dan waktu.
Didalam tiap-tipa tatadunia dibedakan berbagai-bagai alam dimana umpamanya banyak dibicarakan tentang surga-surga dan neraka-neraka yang masuk pada tiap-tiap tatadunia. Tiap tatadunia digambarkan tersusun dari tiga buah alam berikut;
1.    Alam hawa nafsu. Alam ini terdiri dari bahan bahan yang kasar seperti api, udara, bumi, air, dan didiami oleh makhluk-makhluk yang berbadan kasar (jasmani). Di bawah sekali pada alam ini letak neraka-neraka yang dingin dan yang panas. Di atasnya letak bidang kepingan bumi dengan daratan dan lautan, yang terkumpul sekeliling gunung meru. Disinilah hidup binatang, manusia, hantu (preta) dan badan-badan halus yang jahat (asura). Disekitar Meru beredarlah matahari bulan dan bintan-bintang. Diatas meru tinggalah berbagai golongan dewa. Dewa-dewa lainnya tinggal di alam yang lebih tinggi lagi di dalam semacam istana yang melayang-layang. Tetapi makhluk-makhluk yang tertinggi inipun masih tetap di dalam kungkungan Karma.
2.    Alam bentuk (Rupavacara), memang benar makhluk-makhluk kedewataan atau dewa-dewa yang tinggal disini masih mempunyai badan yang lebih halus, tetapi mereka berada diatas hawa nafsu.
Di sini kami telah menyinggung ajaran tentang alam, yang dapat dicapai dengan pengheningan cipta di dalam semadi. Biksu yang bersemadi dapat berhubungan dengan makhluk-makhluk yang hidup di alam ini.
3.    Alam dimana tidak terdapat bentuk (Arupavacara). Inilah alam dewa yang tidak berbadan, yang hidup di dalam alam tersebut di atas, yang dapat dicapai setelah tingkatan keempat di dalam pengheningan cipta.
Setelah apa yang kita lihat dari kosmologi, maka teranglah bagi kita, bahwa alam-alam, kemana biksu-biksu yang sedang bersemadi itu naik, tidak boleh dipandang sebagai keadaan-keadaan keadaran saja.[21]    
Sankhata Darma
Shankharloka                                      Sattaloka        
Ide                               Emas                                                   Syetan
opini                            logam                                                  Jin
peradaban                    Batu                                                    Manusia
konsepsi                                                                                  Dewa
kebudayaan                                                                             Brahm                        
Tata dunia                                           Kosmologi
Alam hawa nafsu                                            Matahari
Alam bentuk                                                   Planet-planet
Alam non bentuk                                            Bulan
Konsep tentang Manusia
Dalam ajaran agama Buddha, manusia menempati kedudukan khusus dan tampak memberi corak yang dominan pada hampir seluruh ajarannya. Kenyataan yang dihadapi manusia dalam hidup sehari-hari merupakan titik tolak dan dasar dari seluruh ajaran Buddha. Masalah manusia dibicarakan terutama dalam ajaran yang disebut Trilakhana, tiga corak umum agama Buddha, Catur Arya Satyani, empat kasunyataan mulia, hukum karma atau hukum perbuatan dan tumimbalahir kembali.
Manusia dalam ajaran Buddha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu rupakhanda, vedanakhanda, sannakhandha, shankharakhandha dan vinnanakhandha.[22]
1. Rupakhandha, atau kegemaran akan wujud atau bentuk, adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indra. Termasuk dalam rupakandha ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan objek seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium, ataupun tersentuh.      
2. Vedanakhandha, atau kegemaran akan perasaan, adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar, baik perasaan senang, susah ataupun netral.
3. Khandha ketiga, yaitu sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut intensitas indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau baua, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
4. Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran ini terdiri dari 50 macam kegiatan mental seperti manasikara (perhatian), chanda (keinginan), sadha (kayakinan), viriya (kemauan keras), lobha (keserakahan) dan sebagainya. Kelima puluh macam kegiatan tadi selalu bergantung sama lain.
5. Khanda kelima, yaitu vinanakhandha, atau kegemaran akan kesadaran, adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan objek dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata atau cakkhuvinana, misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran mata atau cakkhuvinana, misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah tersebut mengarah pada yang buruk, yang baik atau netral.[23]  
Manusia                       kumpulan energi fisik                          Rupakhanda
                        Vedanakhanda
                        Sannakhandha
                        Shankharakhandha
                        Vinnanakhandha
Kesimpulan
Demikianlah paparan tentang konsep tuhan alam dan manusia dalam agama hindu dan buddha, dari konsep hindu yang mengatakan tuhan mempunyai kekuasaan yang mahatinggi, menciptakan alam, hingga mempangeruhi kehidupan manusia, sedangkan buddha mengajarakan setiapa sesuatu yang terjadi dalam alam ini tidak ada hubungannya dengan tuhan, segala yang terjadi adalah hasil dari sebab akibat, hanya saja manusia harus kembali kepada tuhan dan mencapai kebahagiaan tertinggi, inilah inti ajaran dari keduannya, yaitu manusia harus terlepas dari kesdihan, kesengsaraan, yang menimbulkan dosa, hal seperti itulah yang mengakibatkan manusia tidak bisa kembali kepada tuhan.







DAFTAR PUSTAKA

1. Cudamani, karmaphala dan reinkarnasi, jakarta, yayasan wisma karma, 1987.
2. MH. Arifin, menguak misteri ajaran agama-agama besar, jakarta: citra mandala pratama, 2002.
3. G.A. Honig, diterjemahkan Kosomososastro M.D dan Sogiarto, Ilmu Agama, jakarta gunung mulia, 2003.
4. Ali Mukti A.H, agama-agama dI dunia, yogyakarta, Hanindita, 1988.
5. Cudamani,  pengantar agama hindu, jakarta yayasan wisma karma 1987.
6. Tanggok Ikhsan. M, Agama Buddha, jakarta, lembaga UIN jakarta.
7. T. Suwarto, Buddha dharma mahayana, jakarata, majelis agama buddha mahayana indonesia, 1995.
8. Khai, Artikel diakses pada 21 mei 2015 dari http://khai79.blogspot.com/2012/07/konsep-tuhan-mengikut-kitab-kitab-suci.html.  



[1] Cudamani, karmaphala dan reinkarnasi, (jakarta, yayasan wisma karma, 1987), h-3.

[2] Cudamani, karmaphala dan reinkarnasi, (jakarta, yayasan wisma karma, 1987), h-3.

[5] Arifin MH, menguak misteri ajaran agama-agama besar, (jakarta: citra mandala pratama, 2002), h-59.
[6] Arifin MH, menguak misteri ajaran agama-agama besar, (jakarta: citra mandala pratama, 2002), h-59.
[7]  Honig G.A, diterjemahkan Kosomososastro M.D dan Sogiarto, Ilmu Agama, (cet-3, jakarta gunung mulia, 2003), h-126.
[8] Aririfin M.H, menguak misteri ajaran agama-agama besar, (jakarata, Golden Trayon Press, 2002), h -66.
[9] Mukti Ali A.H, agama-agama dI dunia, (yogyakarta, Hanindita, 1988), h-61.
[10] Cudamani, pengantar agama hindu, (jakarta yayasan wisma karma 1987), h -62.
[11] Cudamani, pengantar agama hindu, (jakarta yayasan wisma karma 1987), h -81.
[12] Triguna sattwa, rajas, dan tamas adalah suatu unsur yang ada pada dirimanusia yang mempengarurhi prilakunya dalah kehidupan sehari-hari, unsur ini diajarkan oleh para resih dalam hindu betujuan agar manusia mengetahui seberapa sabarnya seseorang ketika mengalami dukha. Dengan triguna inilah manusia bisa mengukur dirinya, mana yang lebih menonjol dari tiga sifat guna yang ada dalam diri manusia. 
[13] Cudamani, pengantar agama hindu, (jakarta yayasan wisma karma 1987), h -86.
[14] Cudamani, pengantar agama hindu, (jakarta yayasan wisma karma 1987), h -86.
[15] Ikhsan tanggok.M, Agama Buddha, (jakarta, lembaga UIN jakarta cet-1), h-33.
[16] Mukti Ali A.H, agama-agama dI dunia,(yogyakarta, Hanindita, 1988), h-115.
[17] Suwarto.T,  Buddha dharma mahayana, (jakarata, majelis agama buddha mahayana indonesia, 1995,cet -I),  h -562.
[18] Suwarto.T,  Buddha dharma mahayana, (jakarata, majelis agama buddha mahayana indonesia, 1995,cet -I),  h -562.
[19] Mukti Ali A.H, agama-agama dI dunia, (yogyakarta, Hanindita, 1988), h-116.
[20] Mukti Ali A.H, agama-agama dI dunia, (yogyakarta, Hanindita, 1988), h-122.
[21] Honig A.G, ILMU AGAMA, diterjemahkan Kosomososastro M.D dan Sogiarto, Ilmu Agama, (cet-3, jakarta gunung mulia, 2003), h -202.
[22] Mukti Ali A.H, agama-agama dI dunia, (yogyakarta, Hanindita, 1988), h-124.
[23] Mukti Ali A.H, agama-agama dI dunia, (yogyakarta, Hanindita, 1988), h-124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar